Senin, 30 April 2012

Bermimpi Bersama

Di sini bibit mimpi pernah disemai
Ia akan menjadi cerita di masa depan
bahwa BEC pernah menjadi bagian dari hidup
Thanks for my teacher Mrs.Adin, Mrs.Nova and all my friends

Let's reach our dreams!

(BEC 2012/G class)


Kamis, 26 April 2012

Bila Keinginan Hari ini Tidak Lagi Disebut Mimpi


Satu kali dalam sebuah perbincangan setelah saya tidak lagi mengajar di al-Ihsan Boarding School Ikadi Riau saya menyampaikan pada teman yang berniat mengabdi di sana, “Di IBS itu mau tidak mau guru mesti kreatif, kalau tidak anak-anak akan membandingkan.”
Berapa persen kebenarannya? Saya juga tidak tahu, tapi selama lebih kurang tujuh bulan di sana, itulah – di antara tantangan menarik lainnya – yang saya rasakan.
Pernah saya mempersiapkan short story untuk didemonstrasikan di kelas, tapi begitu cerita dimulai anak-anak sudah ada yang menyela kalau cerita tersebut sudah pernah diceritakan oleh guru yang lain. Akhirnya ketika itu juga saya membuat alur yang beda. Seperti kalau selama ini cerita yang berkembang Malin kundang yang durhaka, maka kali itu ibunya Malin Kundanglah yang durhaka.
Sama sekali ini bukanlah bab pelajar hormat tidak hormat kepada gurunya, bukan! Satu sisi ini adalah hasil didikan kekritisan pada sesuatu yang stagnan – remaja setingkat SMP dan SMA memang suka sesuatu yang baru – dan pada sisi yang lain ini menjadi trigger kepada para pendidik di sana untuk membaca dan belajar lebih banyak setiap kali matahari dan bulan menceraikan malam dan siang.
***
Pesantren mana yang melatih santrinya untuk berdemonstrasi?
Turun ke jalan dengan kepala diikat, seraya Korlap orasi diikuti yel-yel yang tiada putus-putus.
Di waktu lain duduk bersama di sebuah ruangan lalu saling berdebat mensimulasikan persidangan laiknya para wakil rakyat.
Juga sama sekali mereka bukan dilatih untuk menghujat – di saat kata-kata ‘hujat’ tidak asing lagi bagi masyarakat kita – tapi mereka sedang belajar menyampaikan ide dan gagasan dengan penuh etika. Dan tidak penting yang dikritisi itu siapa, seperti halnya seorang sahabat yang berdiri ketika Umar hendak memulai pidatonya, dan sahabat itu mempertanyakan pakayan yang sedang dipakai oleh sang Khalifah.
Mereka memang diajari menghormati yang tua, menghargai sesama besar, dan menyayangi yang lebih kecil. Namun, itu tidaklah boleh menjadi gembok yang kuncinya dibuang ke laut. Lalu tumbuh menjadi anak-anak muda yang matanya kabur melihat kemiringan.
***
Bila hari anak-anak muslim ini tumbuh dengan motivasi, maka akan tiba saatnya nanti agama ini kembali menjadi kiblat peradaban dunia.
Sebab sekarang kita minus anak-anak muda yang menyingsingkan lengan bajunya buat orang lain, itu karena mereka dulu selalu diselimuti oleh pesimisme yang ditanamkan orang-orang tua mereka, yang takut Tuhan tidak bertanggungjawab dengan hidupnya, lalu mereka tumbuh untuk seukuran bayang-bayangnya.
Di al-Ihsan Boarding School Ikadi Riau mereka yang hidup dengan jiwa yang padam, berlahan akan gugur seperti gugurnya bunga layu dari tangkai.
Saya merasakan itu. Mulai dari pimpinan, guru dapur, security, guru kelas, guru asrama, dan pegawai lainnya, yang bertahan adalah mereka yang di dadanya selalu bergemuruh spirit perubahan.
Gemuruh spirit itu juga dialirkan kepada para santri, sejak bangun hingga tidur kembali. Maka, jangan heran kalau yel-yel akan terdengar saling bersahutan dari satu ruangan ke ruangan lainnya, dari satu kegiatan kekegiatan lainnya. “Waktu istirahat kita,” ucap pimpinan berulangkali mengingatkan pesan ulama besar asal Baghdad Ahmad bin Hambal. “Adalah ketika kaki kanan kita menginjak pintu surga.”
Shalat malam, Duha dan puasa senin yang ‘diwajibkan’ pada santri adalah modal besar bagi manusia yang menapaki jalan para nabi dan rasul, sebab ia adalah agenda pemenangan jiwa sebelum menang di alam nyata.
***
Kini bila Hp saya berdering, sesekali panggilan dan pesannya adalah dari jiwa-jiwa muda al-Ihsan Boarding School Ikadi Riau. Hanya sekedar bertanya, “Apa kabar ustad? Kapan ustad ke pondok lagi?”
Lain waktu juga muncul di facebook.
Bila demikian, biasanya saya menjawab,
“Bila impian hari ini tidak lagi kita sebut sebagai mimpi.”

Januari 2012
(Tumbuh dan dewasalah generasi muda secepat mungkin, karena kini di negeri kita pesta belum usai-usai).

Mimpi dan Takdir


Masih ingat dengan cita-cita kita di waktu kecil dulu?
Mau jadi pilot, dokter, guru, tentara, bahkan presiden
Sekarang ke mana perginya impian itu!
Di antara kita tentu ada yang menggapainya
Dan sekarang ia tidak lagi menyebutnya sebagai mimpi

Tapi, di antara kita yang bermimpi dulu
Ada juga yang semakin menjauhinya
Semakin bertambah usianya
Semakin tidak berani mengimpikannya

Memang tiap kali bertambah usia seseorang
Tiap kali pula tingkat rasionalitasnya mananjak
Sisi lainnya semakin ia takut gagal

Sahabat sekalian
Percayailah mimpi dan takdir
Kalau mimpi memberi kita nafas untuk berjuang
Maka takdir akan melapangkan hati menerima hasilnya


Rabu, 25 April 2012

Memaknai Gurindam; Sebuah Upaya Kulturisasi Gerakan Dakwah

Jika hendak mengenal orang berbangsa
Lihat kepada budi dan bahasa

Jika hendak mengenal orang yang berbahagia
Sangat memeliharakan yang sia-sia

Jika hendak mengenal orang mulia
Lihatlah kepada kelakuan dia

Jika hendak mengenal orang yang berilmu
Bertanya dan belajar tiadalah jemu

Jika hendak mengenal orang yang berakal
Di dalam dunia mengambil bekal

Jika hendak mengenal orang yang baik perangai
Lihat pada ketika bercampur dengan orang ramai

Sebagai bangsa yang besar, Indonesia terbentang dari Sabang Merauke, Miangas hingga pulau Rote. Pulau yang berjumlah lebih kurang 17 ribu ini dihuni 138 juta penduduk (sensus 2010), dan 300 suku bangsa. Integrasi merupakan kata yang harus mampu diejawantahkan oleh segenap putra putri bumi pertiwi bangsa ini.
Adalah diskursus yang amat panjang membincangkan kulturisasi gerakan dakwah. Dakwah yang merupakan tugas yang amat mulia, harus mampu ditampilkan dengan penuh elegan oleh para duat-nya. Ia tak boleh menjelma menjadi menara gading yang mengagumkan dalam perbincangan, tetapi sulit dalam penerapan. Maka, mau tidak mau (like or dislike) mestilah ia menjadi ‘baling-baling di perbukitan’ selama itu bukan terkait dengan sawabit yang menjaga orisinalitasnya. Belajarlah dari para nabi yang Allah kirimkan ke kaum-kaum mereka, kita akan melihat bagaimana nabi-nabi tersebut mendakwahkan agama ini sesuai dengan style para kaumnya. Kesan-kesan eklusifisme yang disematkan publik pada dakwah, adalah indikasi kegagalan para dai dalam menjaga eksistensinya.
Gurindam 12 merupakan karya Raja Ali Haji 168 tahun yang silam, tepatnya beliau tulis pada tahun 1263 H/1842 M. Namun, karya besarnya itu masih tetap relevan sampai saat ini. Pesan-pesan kehidupan yang terkandung di dalamnya senantiasa bernafas menghidupi lintas generasi.
Pada kesempatan ini, kita mencoba memaknai pasal ke lima dari gurindam tersebut. Dengan harapan ini merupakan bagian dari upaya kulturisasi gerakan dakwah di negeri tercinta ini.

Jika hendak mengenal orang berbangsa
Lihat kepada budi dan bahasa
Membangun komunikasi efektif. Komunikasi secara umum dapat digolongkan pada dua hal; verbal dan non verbal. Komunikasi verbal adalah upaya membangun kemampuan berbicara yang baik, dengan segala arkannya (jelas, teratur, santun). “Dan di antara manusia ada yang pembicaraannya tentang kehidupan dunia mengagumkan engkau…(al-Baqarah: 204) Ini adalah bukti betapa al-Quran memberikan ruang hanya untuk membincangkan para orator yang mencengangkan audiennya the lion of speaker’s platform (singa podium). Namun kita tak cukup berhenti pada kepiawaian menguasai kata-kata, sisi lainnya mestilah kader dakwah berinteraksi dengan mad’unya sesuai dengan tingkat pemahaman mereka. Dan pastikan setiap ucapan yang meluncur merupakan tetesan air hujan yang memberikan kesejukan dan kesuburan bagi bi’ahnya.
Komunikasi non verbal adalah bagian lain yang juga ‘wajib’ bagi para kader menguasainya. Di era modern ini kita tidak saja bisa menyampaikan pesan-pesan Tuhan face to face, namun lebih jauh dari itu mesti punya kemampuan literasi yang baik, sehingga banyak objek dakwah yang bisa dituntaskan pada waktu yang bersamaan, ‘Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui’ demikian ujar pendahulu kita.


Jika hendak mengenal orang yang berbahagia
Sangat memeliharakan yang sia-sia
Efektivitas waktu. Itulah sebabnya kenapa di dalam dakwah ini ada aulawiyyah (prioritas), karena bentangan pekerjaan yang terhampar amat tidak mungkin tuntas dalam waktu singkat, bahkan boleh jadi belum selesai ketika masa hidup kita usai. Maka, pekerjaan yang sangat penting harus ditempatkan di atas yang penting, yang penting mesti diletakkan di atas yang kurang penting. Dan tidak ada waktu bagi para kader dakwah barang sedikit pun bergumul pada hal-hal yang tidak penting. Bukankah satu waktu mesti menghasilkan satu amal!  “Waktu kita sedikit, sedangkan pekerjaan banyak” demikian imam syahid Hasan al-Banna mewasiatkan. Seorang penyair mendendangkan, “Masa muda kita terbatas/ Kita tidak akan muda selamanya/ Setiap detik, menit dan jam adalah algojo/ Yang siap siaga memenggal kita kapan pun/ Bisa jadi ia seret dulu kita menemui ketuaan/ Di sana tidak sedikit orang bersedih/ Menangisi masa muda yang alpa/ Jarum jamnya telah terseok-seok/ Dan pastinya mustahil diputar ulang/ Walaupun air mata air mata darah.”

Jika hendak mengenal orang mulia
Lihatlah kepada kelakuan dia
Membangun kredibelitas diri. Mengaitkan kemulian dengan kelakuan sama artinya merumuskan ‘menghormati orang baik, menjauhi orang yang tidak baik’ dan takaran kebaikan itu adalah agama ini. Buya Hamka menyampaikan “Gila hormat tidak boleh, tapi menjadi manusia terhormat adalah kemestian.” Maka, trust itu tidaklah muncul secara tiba-tiba (karbitan), tidak tuntas dengan bim salabim, abra kadabra. Ia merupakan seleksi alam yang saban waktu memantaunya. Dan inilah yang mesti dipersiapkan para kader dakwah secara gradual, seperti halnya Rasulullah saw.

Jika hendak mengenal orang yang berilmu
Bertanya dan belajar tiadalah jemu
Revitalisasi intelektual. Ketika dulu bung Karno ditanya kenapa ia rajin membaca, ia menjawab “Saya ingin menjadi presiden.” Begitu pun dengan bung Hatta yang mengangkut bukunya berpeti-peti ke mana pun ia berangkat, demikian juga Bill Clinton yang membaca 3 buah buku dalam sehari. “Pada saatnya nanti” kata seorang ahli hikmah, “Manusia itu akan didefenisikan sebagai makhluk yang membaca.” Artinya di zaman itu tak-lah manusia disebut manusia, kecuali kalau ia membaca. “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud.” (An-Naml:16) demikian al-Quran menggambarkan proaktif nabi Sulaiman belajar dari sang ayahnya Daud as. “Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugrahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa….” (al-Baqarah: 247) mempersiapkan pemimpin masa depan, pada saat yang sama mempersiapkan intelektualitas kader yang berkualitas.

Jika hendak mengenal orang yang berakal
Di dalam dunia mengambil bekal
Optimalisasi pengabdian. Kehidupan dunia yang tidak lama ini, mestilah kita mampu mensiasatinya dengan siasat yang terbaik. Setiap kader haruslah mem-petakan ruang pengabdian dan melejitkan potensinya di ruang tersebut. Pada akhirnya disitu jugalah ia akan diperhitungkan penduduk bumi dan disebut-sebut penduduk langit, hingga setiap jejak langkahnya merupakan catatan sejarah yang bakal dipedomani generasi berikutnya, dan akan ia bangga-banggakan di hadapan Tuhan nantinya.

Jika hendak mengenal orang yang baik perangai
Lihat pada ketika bercampur dengan orang ramai
Memiliki imunitasi diri. Acap kali kita dengar bahwa para dai bukanlah komunitas malaikat yang selalu benar, dan sebaliknya juga bukan komunitas setan yang senantiasa salah. Ini adalah jamaah manusia yang dalam upaya kontinuitas pada kebenaran, terkadang kita salah. Walau pun begitu kita tidak disarankan mengasingkan diri, dengan harapan tidak banyak interaksi dengan manusia, dan dengan harapan juga sedikit kiranya dosa yang tercipta.
Lihatlah misalnya teguran Allah pada nabi Yunus as, ketika ia pergi meninggalkan umatnya dalam kesesatan. Maka, para dai bukanlah si-sufi yang melarikan diri ke hutan-hutan, ke gunung-gunung, seraya menasbihkan dirinya. Tetapi para dai (kader dakwah) yang kita rindukan adalah mereka yang berbaur namun tidak bercampur, berinteraksi tetapi tidak terkontaminasi.


Mencoba itu Syarat dari Mimpi


Anak-anak muda kenapa mesti takut mencoba
Bukankah segala teori yang ada sekarang ini awalnya dulu juga adalah percobaan!

Sebelum matahari usia kita redup teruslah melangkah
Nikmati segala aktraksi yang di jumpai di sepanjang perjalan
Bila kelak berjumpa dengan orang yang lebih pandai belajarlah
Bila bersua dengan mereka yang lebih tua timbalah cerita masa mudanya

Perjalanan anak manusia adalah perjalanan sejarah
Makan dan minum di bumi yang sama
Bertebaran di bumi yang sama

Namun, segolongan sibuk menyesali masa lalu
Sedangkan segolongan yang lain terus melangkah maju

Tugas kita hanyalah berjalan dengan tujuan
Lalu otoritas Tuhanlah yang membuat kita sampai atau tidaknya

Nilai terbesar itu bukan sampai di mana
Namun sekuat apa tekad untuk berjalan

"Saya ingin berjalan ke Mekah menuntut keadilan," kata Indra Azwan meluapkan tekadnya.



Mimpi itu Bahasa Jiwa


Sahabat sekalian
Pernahkah menyebutkan sebuah mimpi, lalu seseorang menyela
Ah, tidak masuk di akal

Yakinilah, itu juga pertanda mimpi besar
Tetaplah peluk dan ikuti setiap isyaratnya

Mimpi besar mana yang masuk akal?
Semua mimpi besar selalu berpindah dari akal ke jiwa
Lalu tekadlah sebagai menyangganya

Tiap kali akal merancang mimpi
Tiap kali pula ia mengeluhkan keterbatasannya

Maka, semua impian besar di dunia ini
Adalah bahasa jiwa
Lalu jiwalah yang sanggup memperbicangkannya

Mimpi Besar


Sahabat sekalian, di antara tanda besarnya sebuah mimpi adalah ketika kita ceritakan banyak orang yang meragukannya.
Maka, janganlah pernah memimpikan sesuatu yang dengan duduk-duduk saja kita mampu menggapainya.

Buatlah mimpi yang mengharuskan kita tidur lebih sedikit dan belajar atau bekerja lebih lama
Kekaguman itu bukan karena kita berhasil mengarungi sungai, selamat atau tidak tetap menuai ucapan miring.

Ah, cuma sungai, siapa pun bisa
Atau
Baru berlayar di sungai, sudah karam

Maka arahkanlah kapal ke lautan, dan arungilah samudera
Jangankan penduduk bumi, penduduk langit pun terkagum-kagum
Selamat atau pun tidak

Luar biasa! dia berhasil mengarungi laut tak bertepi
atau
Memang laut tidak mudah ditakhlukkan, tapi paling tidak dia sudah mencoba

Orang-orang besar, mimpinya juga besar
Sebaliknya orang kecil hanya mampu mengimpikan sesuatu yang kecil

So formulanya, semakin besar mimpi seseorang, semakin besar jiwanya
Namun, ketika seseorang hanya mengimpikan sesuatu yang kecil, itu juga gambaran dari kerdilnya jiwa